BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dalam
pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada
Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1,
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana
difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang
demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”.
Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika
manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan
sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh
tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai
keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat,
di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah
diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam
al-Qur’an:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan
Dasar Hukum Nikah.
Istilah nikah berasal
dari bahasa Arab, yaitu ( النكاح ), adapula yang mengatakan perkawinan
menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.
Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali
dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya
perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.
Perkawinan adalah ;
عبارة عن العقد المشهور
المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah ungkapan
tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan
syarat-syarat.
Para ulama fiqh
pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya
mereka mendefinisikan perkawinan pada :
عقد يتضمن ملك
وطء بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang membawa kebolehan (bagi
seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan
(diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan
kedua kata tersebut.
Dalam kompilasi hukum
islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat
atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah
dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi.
Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)
B. Rukun
Nikah
1. WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu
`Alaihi Wasallam:
ايُّمَا
امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ. بَاطِلٌ
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah
tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud,
At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2. SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam
bersabda:
لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِي وَ شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali
dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam
Nailul Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)
3. AKAD
NIKAH
Akad nikah adalah
perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan
dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab
dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak
saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah
penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya
anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan
kewajiban yang harus dipenuhi:
1. Adanya
suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2. Adanya
Ijab Qabul.
3. Adanya
Mahar.
4. Adanya
Wali.
5. Adanya
Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai
akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Kedua
belah pihak sudah tamyiz.
2. Ijab
qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh
diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan
yang menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di
dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh
masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan
kata-kata kasar. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah
terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu Bakar Jabir
Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan ketika
akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang
bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama
Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4. MAHAR
(MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda
kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar juga
merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang
selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas
menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan
mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu
disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan
agar meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah
mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C. Khitbah ( peminangan
)
Seorang lelaki yang
telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang
wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki
mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh
lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ
يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang
oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya
(membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Yang perlu
diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita
didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan
wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut
ini:
1. Memilihkan suami yang
shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si
wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia
menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَسَادٌ
عَرِيْضٌ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ
“Apabila
datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang
tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan
terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084,
dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868,
Ash-Shahihah no. 1022)
2. Meminta pendapat
putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang
gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.
D. Hukum Menikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku
hukum taklifi yang lima yaitu :
1. Wajib bagi
orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak untuk melakukan
persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
2. Haram bagi
orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada calon
istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3. Sunnah bagi
orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk nikah,tetapi
ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
4. Makruh bagi
orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja calon istrinya.
5. Mubah bagi
orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau
karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.
E. Anjuran
Islam
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk
menikah. Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :
1. Sunnah
Para Nabi dan Rasul
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ
أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan
sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS.
Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal
yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna',1 [2]
berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
2. Bagian
Dari Tanda Kekuasan Allah
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)
3. Salah
Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
وَأَنكِحُوا
الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا
فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)
4. Ibadah
Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah
berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal
menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5. Tidak
Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian
tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan
tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada
perbuatan zina.
Tetapi di balik itu
Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini.
Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan
kebiri.
Seorang muslim tidak
halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi
berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat
seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan
dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan
"Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi
dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan
hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia
berkata:
'Sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat
terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu
akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu
menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah
pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ
لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang
baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati
batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati
batas. (QS.
Al-Maidah: 87)
6. Menikah
Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara
filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluq
hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini
diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
وَمِن
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
F. Tujuan
Nikah
Orang yang menikah
sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana
tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena
tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di
antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan
umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا
الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang
penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan
banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya
dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari
yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya
Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian
pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih
suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’
Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur:
30-31)
G. Hikmah Pernikahan
1. Untuk
menjaga kesinambungan generasi manusia.
2. Menjaga
kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3. Kerja
sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4. Mengatur
rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan
kewajiban.
H. Pemikiran
Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.
Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1
tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan
perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini terus terjadi karena perkawinan
menurut agama dan kepercayaannya sudah dianggap sah, banyak pasangan suami
istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya
yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari
atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan
ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah
tangan atau nikah sirri.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak
dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan membiarkan adanya hidup
bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat merugikan para
pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada
anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup
bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan
dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang lahir dari perkawinan
diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya,
dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan
lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan
perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti
kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan
dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan
anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan terjadinya
perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah
(penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.
I. Hak
istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1) Terkait
kebendaan
Salah satunya adalah memberikan mahar. Karena
mahar merupakan keadilan dan keagungan bagi para wanita. Harta suami adalah
harta istri, harta istri adalah miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua adalah memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal,
pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus diberikan kepada istri
janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya.” (QS Al Baqarah 233)
2) Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
ü Pertama,
mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah
mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)
ü Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami
menyakiti hati istrinya. Tahu sendiri kan hati wanita itu seperti apa? Banyak
ditemukan suami yang menghardik istrinya karena tak bisa melampiaskan kekesalan
yang ada dalam hatinya.
ü Ketiga, mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang
mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh
kesulitan dan mara bahaya. Maka, jika dia adalah suami yang baik, dia tak akan
pernah menjual istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi di depan umum
hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi
seperti itu, gugat cerailah, karena pernikahan seperti itu tak akan
mendatangkan manfaat.
ü Keempat, mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa
cinta dari suaminya.
ü Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak.
Kalau ada istri yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik sebagai maka
suami TIDAK BOLEH melarangnya untuk menghadiri majelis ilmu selama suami belum
bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
ü Keenam, berlaku adil ketika melakukan poligami. Tenang,
nggak semua pria ingin melakukan poligami kok. Jadi jangan anti dengan kata
yang satu ini.
J. Hak
suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri kepada suaminya)
Hak suami yang wajib
dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan benda, karena istri seharusnya
tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan
hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri tak bekerja mencari nafkah.
Hal ini dimaksudkan agar istri dapat fokus membina keluarga. Menjadi
perkecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang punggung keluarga, yang
muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan suaminya “angon”
di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau suaminya
meninggal.
ü Pertama,
menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
ü Kedua,
memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
ü Ketiga, taat
dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan
maksiat.
ü Keempat,
menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di rumah.
ü Kelima,
menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya. Termasuk
di dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya ke rumah selama
suami tidak ada.
ü Keenam,
menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang
tidak enak didengar.
ü Ketujuh, tidak
keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin canggih izin
lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media yang lain.
K. Hak
bersama suami istri
Telah dihalalkan
bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang untuk
mendatangi istri di saat haid, nifas, ihram, dzihar (menyamakan punggung
istrinya seperti punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk
menggaulinya). Seorang suami yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat
(denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut jika
ingin kembali pada istrinya.
1. Pertama, hak untuk saling
mendapatkan warisan
2. Kedua, Hak untuk
mendapatkan perwalian nasab anak
3. Suami istri, hendaknya
saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4. Hendaknya saling
mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 –
Al-Hujuraat: 10)
5. Hendaknya menghiasi dengan
pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6. Hendaknya saling
menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7. Sedangkan kewajiban yang
harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri adalah memelihara
dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan memelihara kehidupan
pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Bagaimanapun
aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu hal yang
mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari (normal),
pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi
ketika ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan
ini boleh-boleh saja dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk
melarang apalagi mentidaksahkan pernikahan ini.
Dengan
demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan
yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak
diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan
digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan
pribadi dan merugikan pihak lain.
DAFTAR
PUSTAKA
ý Al-Jaziri,
Abdurrahman. 1986. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut:
Dar al-Fikr
ý Al-Imam
Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa
tahun.Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha
Keluarga
ý Djalil,
Abdul. 2000. Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan
Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS Yogyakarta
ý Kamal,
Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta:
Bulan Bintang
ý Mubarok,
Jaih. 2002. Metodologi
Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
ý Redaksi
Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan
Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai
Negeri Sipil. Jakarta: Sinar Grafika
ý Shihab,
Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui.
Jakarta: Lentera Hati
ý Sudarsono.
1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
ý Fatwa
Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan
pada: Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
ý MUI
online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
ý Pencatatan
Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
ý Situs
Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id
No comments:
Post a Comment